mencoba berbagi untuk semua

- -

Selain memerintah shaum, dalam menyambut menjelang bulan Ramadhan, Rasulullah selalu memberikan beberapa nasehat dan pesan-pesan. Inilah ‘azimat’ Nabi tatkala memasuki Ramadhan.

Wahai manusia! Sungguh telah datang pada kalian bulan Allah dengan membawa berkah rahmat dan maghfirah. Bulan yang paling mulia disisi Allah. Hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah jam-jam yang paling utama.

Inilah bulan ketika kamu diundang menjadi tamu Allah dan dimuliakan oleh-NYA. Di bulan ini nafas-nafasmu menjadi tasbih, tidurmu ibadah, amal-amalmu diterima dan doa-doamu diijabah. Bermohonlah kepada Allah Rabbmu dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah membimbingmu untuk melakukan shiyam dan membaca Kitab-Nya.

Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu di hari kiamat. Bersedekahlah kepada kaum fuqara dan masakin. Muliakanlah orang tuamu, sayangilah yang muda, sambungkanlah tali persaudaraanmu, jaga lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal kamu memandangnya dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarnya. Kasihilah anak-anak yatim, niscaya dikasihi manusia anak-anak yatimmu. Bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah tangan-tanganmu untuk berdoa pada waktu shalatmu karena itulah saat-saat yang paling utama ketika Allah Azza wa Jalla memandang hamba-hamba-Nya dengan penuh kasih; Dia menjawab mereka ketika mereka menyeru-Nya, menyambut mereka ketika mereka memanggil-Nya dan mengabulkan doa mereka ketika mereka berdoa kepada-Nya.

Wahai manusia! Sesungguhnya diri-dirimu tergadai karena amal-amalmu, maka bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggungmu berat karena beban (dosa) mu, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujudmu.

Ketahuilah! Allah ta’ala bersumpah dengan segala kebesaran-Nya bahwa Dia tidak akan mengazab orang-orang yang shalat dan sujud, dan tidak akan mengancam mereka dengan neraka pada hari manusia berdiri di hadapan Rabb al-alamin.

Wahai manusia! Barang siapa di antaramu memberi buka kepada orang-orang mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka di sisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan dia diberi ampunan atas dosa-dosa yang lalu. (Sahabat-sahabat lain bertanya: “Ya Rasulullah! Tidaklah kami semua mampu berbuat demikian.”

Rasulullah meneruskan: “Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma. Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan seteguk air.”

Wahai manusia! Siapa yang membaguskan akhlaknya di bulan ini ia akan berhasil melewati sirathol mustaqim pada hari ketika kai-kaki tergelincir. Siapa yang meringankan pekerjaan orang-orang yang dimiliki tangan kanannya (pegawai atau pembantu) di bulan ini, Allah akan meringankan pemeriksaan-Nya di hari kiamat.

Barangsiapa menahan kejelekannya di bulan ini, Allah akan menahan murka-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakanya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.

Barang siapa menyambungkan tali persaudaraan (silaturahmi) di bulan ini, Allah akan menghubungkan dia dengan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah akan memutuskan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.

Barangsiapa melakukan shalat sunat di bulan ini, Allah akan menuliskan baginya kebebasan dari api neraka. Barangsiapa melakukan shalat fardu baginya ganjaran seperti melakukan 70 shalat fardu di bulan lain.

Barangsiapa memperbanyak shalawat kepadaku di bulan ini, Allah akan memberatkan timbangannya pada hari ketika timbangan meringan. Barangsiapa di bulan ini membaca satu ayat Al-Quran, ganjarannya sama seperti mengkhatam Al-Quran pada bulan-bulan yang lain.

Wahai manusia! Sesungguhnya pintu-pintu surga dibukakan bagimu, maka mintalah kepada Tuhanmu agar tidak pernah menutupkannya bagimu. Pintu-pintu neraka tertutup, maka mohonlah kepada Rabbmu untuk tidak akan pernah dibukakan bagimu. Setan-setan terbelenggu, maka mintalah agar ia tak lagi pernah menguasaimu. Amirul mukminin k.w. berkata: “Aku berdiri dan berkata: “Ya Rasulullah! Apa amal yang paling utama di bulan ini?” Jawab Nabi: “Ya Abal Hasan! Amal yang paling utama di bulan ini adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan Allah”.

Wahai manusia! sesungguhnya kamu akan dinaungi oleh bulan yang senantiasa besar lagi penuh keberkahan, yaitu bulan yang di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan; bulan yang Allah telah menjadikan puasanya suatu fardhu, dan qiyam di malam harinya suatu tathawwu’.”

“Barangsiapa mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu pekerjaan kebajikan di dalamnya, samalah dia dengan orang yang menunaikan suatu fardhu di dalam bulan yang lain.”
“Ramadhan itu adalah bulan sabar, sedangkan sabar itu adalah pahalanya surga. Ramadhan itu adalah bulan memberi pertolongan ( syahrul muwasah ) dan bulan Allah memberikan rizqi kepada mukmin di dalamnya.”

“Barangsiapa memberikan makanan berbuka seseorang yang berpuasa, adalah yang demikian itu merupakan pengampunan bagi dosanya dan kemerdekaan dirinya dari neraka. Orang yang memberikan makanan itu memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa tanpa sedikitpun berkurang.”

Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah, tidaklah semua kami memiliki makanan berbuka puasa untuk orang lain yang berpuasa. Maka bersabdalah Rasulullah saw, “Allah memberikan pahala kepada orang yang memberi sebutir kurma, atau seteguk air, atau sehirup susu.”

“Dialah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya pembebasan dari neraka. Barangsiapa meringankan beban dari budak sahaya (termasuk di sini para pembantu rumah) niscaya Allah mengampuni dosanya dan memerdekakannya dari neraka.”

“Oleh karena itu banyakkanlah yang empat perkara di bulan Ramadhan; dua perkara untuk mendatangkan keridhaan Tuhanmu, dan dua perkara lagi kamu sangat menghajatinya.”

“Dua perkara yang pertama ialah mengakui dengan sesungguhnya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan mohon ampun kepada-Nya . Dua perkara yang kamu sangat memerlukannya ialah mohon surga dan perlindungan dari neraka.”

“Barangsiapa memberi minum kepada orang yang berbuka puasa, niscaya Allah memberi minum kepadanya dari air kolam-Ku dengan suatu minuman yang dia tidak merasakan haus lagi sesudahnya, sehingga dia masuk ke dalam surga.” (HR. Ibnu Huzaimah)

sumber: Hidayatullah.com

Subhanallah begitu besar pahala kebaikan yang Allah sediakan di bulan Ramadhan.. Karena itu marilah kita sambut Ramadhan dengan mempersiapkan diri kita dengan baik,, agar Ramadhan kita kali ini tidak sia-sia..

Continue
- -

Berikut merupakan Ebook Novel berjudul "Dalam Mihrab Cinta" karya Habiburrahman El Shirazy..



bisa didownload lewat link dibawah ini
download

Continue
- -

Berikut merupakan Ebook berjudul Fiqh Minoriti karya Dr. Yusuf Qardhawi..



bisa didownload lewat link dibawah ini
download

Continue
- -

Serial Cinta - Anis Matta

Berikut merupakan Ebook berjudul Serial Cinta karya Anis Matta..



bisa didownload lewat link dibawah ini
download

Continue
- -

Berikut merupakan Ebook berjudul Menggairahkan Perjalanan Halaqah karya Satria Hadi Lubis..



bisa didownload lewat link dibawah ini

Continue
- -

Di sudut pasar Madinah Al-Munawarah seorang pengemis Yahudi buta hari demi hari apabila ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata "Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya". Setiap pagi Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Rasulullah SAW melakukannya hingga menjelang Beliau SAW wafat. Setelah kewafatan Rasulullah tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.

Suatu hari Abubakar r.a berkunjung ke rumah anaknya Aisyah r.ha. Beliau bertanya kepada anaknya, "anakku adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan", Aisyah r.ha menjawab pertanyaan ayahnya, "Wahai ayah engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja". "Apakah Itu?", tanya Abubakar r.a. Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana", kata Aisyah r.ha.

Ke esokan harinya Abubakar r.a. pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abubakar r.a mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepada nya. Ketika Abubakar r.a. mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, "siapakah kamu ?". Abubakar r.a menjawab, "aku orang yang biasa". "Bukan !, engkau bukan orang yang biasa mendatangiku", jawab si pengemis buta itu. Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya setelah itu ia berikan pada ku dengan mulutnya sendiri", pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abubakar r.a. tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, aku memang bukan orang yang biasa datang pada mu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW. Setelah pengemis itu mendengar cerita Abubakar r.a. ia pun menangis dan kemudian berkata, benarkah demikian?, selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia.... Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat dihadapan Abubakar r.a.

subhanallah
wallahu alam

Continue
- -

Tauhidullah part2

Tauhid Ilahiyah
Kata Ilaha berakar kata pada a-la-ha (alif-lam-ha) yang mempunyai arti antara lain tentram, tenang, lindungan, cinta dan sembah (‘abada). Semua kata-kata ini relevan dengan sifat-sifat dan kekhususan zat Allah SWT sepeti yang dinyatakan Alllah dalam kitab suci alQur’an:
“Dan orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya mengingat Allah lah hati menjadi tentram.” (Ar Ra’du: 28)
“Aku berlindung kepada Allah akan termasuk orang-orang yang jahil.” (Al Baqarah: 67)
“Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (Al Baqarah: 165)
“Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan). Sembahlah Allah saja, dan jauhilah thagut.” (An Nahl: 36)

Di antara makna Ilah di atas yang paling asasi adalah makna ‘abada (‘ain-ba-dal) yang mempunyai beberapa arti, antara lain: hamba sahaya (‘abdun), patuh dan tunduk (‘ibadah), yang mulia dan agung (al ma’bad), selalu mengikutinya (‘abada bih). Jika arti kata-kata ini diurutkan maka akan menjadi susunan kata yang sangat logis yaitu: Bila seseorang menghambakan diri pada seseorang maka ia akan mengikutinya, mengagungkannya, memuliakannnya, mematuhi dan tunduk kepadanya serta mengorbankan kemerdekaannya. Dalam konteks ini “al ma’bud” berarti memiliki, yang dipatuhi dan yang diagungkan (AL Islam, 1979, 23-24)

Jadi Tauhid Ilahiyah adalah mengimani Allah SWT satu-satunya Al ma’bud (yang disembah). Dalam hal ini Allah berfirman:
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku (beribadahlah) dan dirikanlah shalat untuk mengingatKu.” (Thaha: 14) (titik tekan muwashofat mengikhlaskan amal hanya untuk Allah swt)

Tauhid Asma Wash-Shifat
Makna tauhidul asma wa-shifat (mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifat-Nya) adalah meyakini secara mantap bahwa Allah swt menyandang seluruh sifat kesempurnaan dan suci dari segala sifat kekurangan dan bahwa Dia berbeda dengan seluruh makhluk-Nya. Caranya adalah menetapkan (mengakui) nama-nama dan sifat-sifat Allah yang yang Dia sandangkan untuk Dirinya atau disandangkan oleh Rasulullah saw dengan tidak melakukan tahrif (pengubahan) lafadz atau maknanya, tidak ta’thil (pengabaian) yakni menyangkal seluruh atau sebagian nama dari sifat itu, tidak takyif (pengadaptasian) dengan menentukan esensi dan kondisinya dan tidak tasybih (penyerupaan) dengan sifat-sifat makhluk.
Dari definisi di atas, jelaslah bahwa tauhidul asma was-shifat berdiri di atas tiga asas. Barang siapa menyimpang darinya, maka ia tidak termasuk orang yang mengesakan Allah dalam hal nama dan sifat-Nya. Ketiga asas itu adalah:
1.menyakini bahwa Allah Mahasuci dari kemiripan dengan makhluk dan dari segal kekurangan.
2.mengimani seluruh nama dan sifat Allah yang disebutkan dalam Al-Quran dan Sunnah tanpa mengurangi atau menambah-nambahi dan tanpa mengubah atau mengabaikannya.
3.menutup keinginan untuk mengetahui kaifiyyah(kondisi) sifat-sifat itu.


Adapun asas yang pertama, yakni meyakini bahwa Allah Mahasuci dari kemiripan dengan makhluk dalam segala sifat-sifat-Nya. Ini didasarkan pada firman Allah swt:

“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al Ikhlas(112) :4)

“Maka janganlah kalian membuat perumpamaan-perumpamaan bagi Allah.” (QS.16:74)

Al-Qurtubi, saat menafsirkan firman Allah ”Tidak ada yang sama dengannya sesuatu apapun,” mengatakan,”Yang harus diyakini dalam bab ini adalah bahwa Allah swt, dalam hal keagungan, kebesaran, kekuasaan, dan keindahan nama serta ketinggian sifat-Nya, tidak satupun dari makhluknya yang menyerupai-Nya dan tidak pula dapat diserupakan dengan makhluk-Nya. Dan sifat yang oleh syariat disandangkan kepada Pencipta dan kepada makhluk, pada hakikatnya esensinya berbeda meskipun lafaznya sama. Sebab, sifat Allah Yang tidak berpemulaan (qadim) pasti berbeda dengan sifat makhluk-Nya.
Al Wasithi mengatakan,”Tidak ada dzat yang sama dengan dzat-Nya;tidak ada nama yang sama dengan nama-Nya;tidak ada perbuatan yang sama dengan perbuatan-Nya, tidak ada sifat yang sama dengan sifat-Nya kecuali dari sisi lafaznya saja. Mahasuci Dzat Yang Qadim dari sifat-sifat makhluk. Sebagaimana adalah mustahil makhluk memiliki sifat-sifat Pencipta. Dan, inilah mazhab para pemegang kebenaran, yakni Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah.
Sayyid Qutb mengatakan, saat menafsirkan ayat tersebut di atas,”Fitrah pasti akan mengimani hal ini. Bahwa Pencipta segala sesuatu tidak akan dapat disamakan dalam hal sekecil apa pun oleh makhluk-Nya.
Dan masuk dalam asas pertama ini, menyucikan Allah swt dari segala yang bertentangan dengan siat yang Dia sandangkan untuk Dirinya atau dengan sifat yang disandangkan oleh Rasulullah saw. Jadi mengesakan Allah dalam hal sifat-sifat-Nya menuntut seseorang Muslim untuk meyakini bahwa Allah tidak mempunyai istri, teman, tandingan, pembantu, dan syafi’(pemberi safa’at)—kecuali atas izin-Nya. Dan juga menuntut seorang Muslim untuk menyucikan Allah dari sifat tidur, lelah, lemah, mati, bodoh, zalim, lalai, lupa, kantuk, dan sifat-sifat kekurangan lainnya.

Adapun asas kedua, mewajibkan kita untuk membatasi diri pada nama-nama dan sifat-sifat yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah. Nama-nama dan sifat-sifat itu harus ditetapkan berdasarkan wahyu bukan logika. Jadi, tidak boleh menyandangkan sifat atau nama kepada Allah kecuali sejauh yang ditetapkan oleh Allah untuk Dirinya atau ditetapkan oleh Rasulullah saw. Sebab Allah swt Mahatahu tentang Dirinya, sifat-sifat-Nya dan nama-nama-Nya. Ia berfirman:
“Katakanlah, kalian yang lebih tahu atau Allah?”(QS. Al Baqarah (2):140)

Nah bila Allah yang lebih tahu tentang Dirinya, dan para Rasul-Nya adalah orang-orang jujur dan selalu membenarkan segala informasi dari-Nya, pasti mereka tidak akan menyampaikan selain dari apa yang diwahyukan oleh-Nya kepada mereka. Karenanya, dalam urusan mengukuhkan atau menafikan nama-nama dan sifat-sifat Allah wajib merujuk kepada informasi dari Allah dan Rasul-Nya. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan,”Tidak boleh menyandangkan sifat kepada Allah selain dari apa yang disandangkan oleh Dirinya sendiri atau oleh Rasul-Nya; tidak boleh melangkahi Al-quran dan Hadist.”
Nu’aim bin Hammad, guru Imam Al-Bukhari, mengatakan,”Barang siapa menyamakan Allah dengan makhluk, maka ia kafir. Barang siapa menolak sifat Allah yang disandangkan-Nya untuk Dirinya atau disandangkan oleh Rasul-Nya maka ia kafir. Dan dalam sifat-sifat Allah yang disandangkan oleh-Nya atau oleh Rasul SAW tidak ada kesamaan atau kemiripan dengan sifat-sifat makhluk-Nya.”

Adapun asas yang ketiga menuntut manusia yang mukallaf untuk mengimani sifat-sifat dan nama-nama yang ditegaskan oleh Al-Quran dan Sunnah tanpa bertanya tentang kaifiyyah (kondisi)-Nya, dan tidak pula tentang esensinya. Sebab, mengetahui kaifiyyah sifat hanya akan dicapai manakala mengetahui kaifiyyah dzat. Karena sifat-sifat itu berbeda-beda, tergantung pada penyandang sifat-sifat tersebut. Dan Dzat Allah tidak berhak dipertanyakan esensi dan kaifiyyah-Nya. Maka, demikian pula sifat-sifat-Nya, tidak boleh dipertanyakan kaifiyyah-Nya.
Karenanya, ketika para ulama salaf ditanya tentang kaifiyyah istiwa (cara Allah bersemayam) mereka menjawab,”Istiwa itu sudah dipahami, sedang cara-caranya tidak diketahui; mengimaninya(istiwa) adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Jadi, kaum salaf sepakat bahwa kaifiyyah istiwa itu tidak diketahui oleh manusia dan bertanya tentang hal itu adalah bid’ah.
Jika ada seseorang bertanya kepada kita,”Bagaimana cara Allah turun ke langit dunia?”maka kita tanyakan kepadanya, “Bagaimana Dia?” jika ia mengatakan,”Saya tidak tahu kaifiyyah Dia.”maka kita jawab, “Makanya kita tidak tahu kaifiyyah Dia. Sebab untuk mengetahui kaifiyyah sifat harus mengetahui terlebih dahulu kaifiyyah dzat yang disifati itu. Karena, sifat itu adalah cabang dan mengikuti yang disifati. Jadi, bagaimana Anda menuntut kami untuk menjelaskan cara Allah mendengar, melihat, berbicara, istiwa, padahal Anda tidak tahu bagaimana kaifiyyah dzat-Nya. Maka, jika anda mengakui bahwa Allah adalah wujud yang hakiki yang pasti memiliki segala sifat kesempurnaan dan tidak ada yang menandinginya, maka mendengar, melihat, berbicara, dan turunnya Allah tidak dapat digambarkan dan tidak bisa disamakan dengan makhluk-Nya.

Dari penjelasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa tauhid al asma wash-shifat ini dapat rusak dengan beberapa hal berikut:
1. Tasybih
Yakni menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk. Seperti yang dilakukan orang-orang Nasrani yang menyerupakan Al Masih bin Maryam dengan Allah SWT;orang Yahudi menyerupakan ‘Uzair dengan Allah;orang-orang musyrik menyerupakan patung-patung mereka dengan Allah;beberapa kelompok yang menyerupakan wajah Allah dengan wajah makhluk, tangan Allah dengan tangan makhluk, pendengaran Allah dengan pendengaran makhluk, dan lain sebagainya.
2. Tahrif
Artinya mengubah atau mengganti. Yakni mengubah lafadz-lafadz nama Allah dengan menambah atau mengurangi atau mengubah harakah i’rabiyyah, atau mengubah artinya, yang oleh para ahli bid’ah diklaim sebagai takwil, yaitu memahami satu lafadz dengan makna yang rusak dan tidak sejalan dengan makna yang digunakan dalam bahasa arab. Seperti pengubahan kata dalam firman Allah wa kallamallahu musa taklima menjadi wa kallamallaha. Dengan demikian, mereka bermaksud menafikan sifat kalam (berbicara) dari Allah swt.
3. Ta’thil (pengabaian, membuat tidak berfungsi)
Yakni menampik sifat Allah dan menyangkal keberadaannya pada Dzat Allah swt, semisal menampik kesempurnaan-Nya dengan cara membantah nama-nama dan sifat-sifat-Nya; tidak melakukan ibadah kepada-Nya, atau menampik sesuatu sebagai ciptaan Allah swt, seperti orang yang mengatakan bahwa makhluk-makhluk ini qadim (tidak berpermulaan dan menyangkal bahwa Allah telah mencipatkan dan membuatnya).
4. Takyif (mengkondisikan) yakni menentukan kondisi dan menetapkan esensinya
Manhaj dalam memahami nama dan sifat Allah yang disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah tanpa melakukan tasybih, tahrif, ta’thil dan takyif ini merupakan mazhab salaf, yakni kalangan sahabat—semoga Allah meridhai mereka semua, tabi’in, dan tabi’ut –tabi’in. Asy-Syaikani mengatakan:
“Sesungguhnya, mazhab salaf, yakni kelangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in adalah memberlakukan dalil-dalil tentang sifat-sifat Allah sesuai dengan zahirnya tanpa melakukan tahrif, takwil, yang dipaksakan, dan tidak pula ta’thil yang mengakibatkan terjadinya banyak takwil. Dan jika mereka ditanya tentang sifat-sifat Allah meraka membacakan dalil lalu menahan diri dari mengatakan pendapat itu dan ini, seraya mengatakan, Allah mengatakan demikian dan kami tidak mengetahui lebih dari itu. Kami tidak akan memaksakan diri untuk berbicara apa yang tidak kami ketahui dan apa yang tidak Allah izinkan untuk kami lampaui. Jika sipenanya itu menginginkan penjelasan melebihi dari yang zahir, maka mereka segera melarangnya agar tidak menenggelamkan dalam hal yang tidak berguna dan mencegah dari mencari apa yang tidak mungkin mereka capai selain terjerumus dalam bid’ah dan dalam hal yang tidak diajarkan Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat dan tabi’in. Dan pada masa itu, pendapat tentang asma was-shifat adalah satu. Dan cara memahaminya juga sama.
Kesibukan mereka saat itu adalah melaksanakan apa yang Allah perintahkan dan tugaskan kepada mereka untuk dilaksanakan. Yakni beriman kepada Allah, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat dan puasa, haji, jihad, infaq, mencari ilmu yang bermanfaat, membimbing manusia kepada kebaikan, memerintah yang makruf dan mencegah yang munkar, dan sebagainya. Dan, mereka tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak dibebankan kepada mereka atau dengan hal-hal yang kalaupun dilaksanakan tidaklah merupakan ibadah, seperti mencari hakikat nama-nama dan sifat-sifat itu. Karenanya, pada masa itu agama Islam bersih dari debu-debu bid’ah.

Tauhidullah
oleh :
Ustadz Prof. Dr. Muhammad Nuim Yassin dan
Ustadz Dr. Yunahar Ilyas

Continue
- -

Tauhidullah part1

Makna tauhid berasal dari kata wahhada, yuwahhidu, tauhid yang berarti mengesakan. Jadi esensi iman kepada Allah adalah Tauhid yaitu mengesakan-Nya, baik dalam zat, asma’ was-shiffaat, maupun af’al-Nya.
Secara sederhana Tauhid dapat dibagi dalam tiga tingkatan yaitu Tauhid Rububiyah (Mengimani Allah sebagai satu-satunya Rabb), Tauhid Ilahiyah (mengimani Allah swt sebagai satu-satunya Ilah ), dan Tauhid Mulkiyah (mengimani Allah swt sebagai satu-satunya Malik). Pembagian ini didasarkan pada firman Allah dalam Surat An-Nass. Sedangkan Dr. Muhammad Nu’im Yassin membagi Tauhid menjadi Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma’ wa Shifat). Perbedaan pembagian Tauhid ini semata-mata persoalan ijtihad saja dalam rangka mempermudah memahami konsep Tauhid. Masing-masing mempunyai titik fokus sendiri-sendiri. Sebagian yang berpendapat bahwa tauhid mulkiyah perlu dimunculkan menjadi bagian pembahasan tauhid karena saat sekarang ini diperlukan penyadaran kepada umat Islam bahwa hanya Allahlah yang mempunyai kekuasaan. Sedangkan sebagain yang berpendapat bahwa Tauhid Asma’ wa-Shifat perlu juga dibahas tersendiri karena saat itu terdapat penyimpangan dari kaum sebagain kamum muslimin dalam memahami asma’ wa shifat. Dikarenakan tidak ada perbedaan dalam masalah isi maka kedua pendapat tersebut akan digabungkan menjadi satu sehingga semua macam Tauhid dapat terbahas dengan tuntas.

Tauhid Rububiyyah
Secara etimologis kata “Rabb” sebenarnya mempunyai banyak arti, antara lain menumbuhkan, mengembangkan, mendidik, memelihara, memperbaiki, menanggung, mengumpulkan, mempersiapkan, memimpin, mengepalai, menyelesaikan suatu perkara memiliki dan lain-lain (lihat uraian etimologis Maududy dalam Ketuhanan, Ibadah dan Agama, 1983, 30-34)., namun untuk lebih sedehana dalam hubungannya dengan Rubbubiyyatullah (Tauhid Rububiyyah) kita mengambil beberapa arti saja yaitu mencipta, memberi rezeki, memelihara, mengelola dan memiliki (kata-kata mencipta, memberi rezki, mengelola disimpulkan dari beberapa pengertian etismologis di atas), dan sebagian arti “Rabb” kita masukkan secara khusus ke dalam pengertian Mulkiyatullah (Tauhid Mulkiyah) seperti memimpin, mengepalai, dan menyelesaikan suatu perkara, dengan pengertian di atas ayat Allah SWT : “Alhamdulillahi rabbil ‘allamin” bisa dipahami bahwa segala puja dan puji hanya milik Allah Yang Mencipta, Memberi Rezeki, Memelihara, Mengelola dan Memiliki alam semesta. Begitu juga ayat :”Qul ‘audzubirabbinnas” bisa dipahami : Katakanlah (Hai Muhamamd), aku berlindung dengan Yang Mencipta, Memberi Rezeki, Memelihara, Mengelola (kehidupan ) dan memiliki manusia. Pengertian bahwa Allah SWT satu-satunya Dzat Yang Mencipta, Memberi Rezeki, Memelihara, Mengelola dan Memiliki, banyak kita pahami dari kitab suci Al Qur’an, antara lain dalam ayat-ayat berikut ini :
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.” (Al Baqarah: 21)
“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan ari hujan dari langit lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (Al Baqarah: 22)
“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan (Yang berhak disembah) selain Dia, maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?” (Fathir: 3)
“Dan Allah mencipatkan kamu dari tanah kemudian air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang pun mengandung dan tidak (pula) melahirkan kecuali dengan sepengetahuanNya. Dan sekali-kali tidak dipanjang kan umur seseorang yang berumur panjang, dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.” ( Fathir: 11)

“Dan tidak sama (antara) dua laut: yang ini tawar, segar sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya, dan pada masing-masingnya kamu lihat kapal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu dapat mencari karuniaNya dan supaya kamu bersyukur.” (Fathir: 12)
“Dia memasukkan malam ke dalam siang dsan memasukakn siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Tuhanmu, kepunyaanNya lah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (Fathir: 13)
“Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui.” (Al Mukminun: 84)
“Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah, ‘Kataklanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?” (Al Mukminun: 85)
melihat akan kebaikan Allah kepada manusia sebagaimana yang telah diungkapkan dalam konsep tauhid rububiyah maka sudah selayaknya manusia harus bersyukur kepada Allah karena semuanya itu hanyalah nikmat dari Allah. Allah telah menciptakan manusia dan sekaligus Allah memberi kenikmatan berupa rizki untuk manusia agar dapat hidup di dunia. Hanya oarang yang kufur saja yang tidak dapat melihat semua kebaikan Allah kepada manusia. (titik tekan muwashofat mensyukuri nikmat saat mendapatkan nikmat dari Allah swt)

Tauhid Mulkiyah
Kata Malik yang berarti raja, dan Mulk yang berarti memilki akar kata yang sama yaiyu ma-la-ka. Keduanya mempunyai relevansi makna yang kuat. Si Pemilik sesuatu –pada hakikatnya- adalah raja dari sesuatu yang dimilikinya. Misalnya pemilik rumah, dia bebas mendiami, menyewakan atau bahkan menjualnya kepada orang lain. Berbeda dengan penghuni yang hanya mempunyai hak pakai, tidak diijinkan menyewakannya kepada orang lain, apalagi menjualnya.
Dalam pengertian bahasa seperti ini, Allah SWT sebagai Rabb yang memiliki alam semesta (a’ ‘alamin) adalah raja dari alam semesta tersebut, Dia bebas melakukan apa saja yang dikehendakiNya terhadap alam semesta tersebut. Dalam hal ini Allah SWT adalah Malik (raja) dan alam semesta adalah mamluk (yang memiliki atau hamba). Kita banyak menemukan ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah SWT adalah Pemilik dan Raja langit dan bumi dan seluruh sisinya, antara lain:
“Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.” (Al Baqarah: 107)

“Kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Al Maidah : 120)
Bila kita mengimani bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Raja yang menguasai alam semesta (bumi dan seluruh isinya) maka kita –minimal- harus mengakui Alllah SWT adalah pemimpin(Wali), Penguasa yang menentukan (Hakim) (titik tekan muwashofat bertahkim kepada hukum Allah)dan yang menjadi tujuan (Ghayah) (titik tekan muwashofat mengikhlaskan amal hanya untuk Allah swt). Hal itu logis sebagai konsekuensi dari pengakuan bahwa Allah SWT adalah raja. Bukanlah Raja kalau tidak memimpin, bukanlah pemimpin kalau tidak punya wewenang menentukan sesuatu, atau tidak punya “kata putus”. Kalau kita analogikan logika ini kepada manusia, maka raja yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa adalah raja simbol atau raja boneka yang hanya ditampilkan untuk upacara-upacara (ceremonial) belaka yang tidak menentukan sistem kehidupan atau pemerintahan. Seoarang raja baru akan fungsional sebagai raja bukan karena mahkota yang telah dipasang di kepalanya, bukan karena dia sudah duduk di atas kursi kerajaan (singgasana) atau karena tinggal di istana, bukan. Dia baru akan fungsional sebagai raja apabila berfungsi menjadi pemimpin dalam arti yang sebenarnya. Yaitu apabila kata-katanya didengar, perintahnya diikuti dan larangannya diperhatikan. Dan apabila terjadi perselisihan dia akan menyelesaikan.
Al Qur’an menjelaskan bahwa Allah SWT adalah pemimpin orang-orang yang beriman:
“Allah pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang kafir pemimpin –pemimpin mereka adalah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka. Dan mereka kekal di dalamnya..” (Al Baqarah: 257)

Az Zulumat (kegelapan) dalam ayat di atas adalah simbol dari segala bentuk kekufuran, kemusyrikan, kefasikan dan kemaksiatan, sedangkan An Nur adalah simbol ketauhidan, keimanan, ketaatan (islam). Atau dalam bahasa sekarang Az Zulumat adalah bermacam-macam ideologi dan isme-isme yang bertentangan dengan ajaran islam sepeti komunisme, sosialisme, kapitalisme, liberalisme, materialisme, hedonisme dan lain sebagainya.
At Taghut adalah segala sesuatu yang disembah (dipertuhan) selain dari Allah SWT dan dia suka diperlakukan sebagai tuhan tersebut. Menurut Sayid Quthb, Thagut adalah segala sesuatu yang menentang kebenaran dan melanggar batas yang telah digariskan oleh allah SWT untuk hambaNya. Thagut bisa berbentuk pandangan hidup, peradaban, dan lain-lain yang tidak berlandaskan ajaran Allah (Fi Zhilalil Qur’an I/292)

Secara operasional kepimpinan Allah SWT itu dilaksanakan oleh Rasulullah SAW, dan sepeninggal beliau kepemimpinan itu dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman. Hal ini dinyatakan dalam Al Qu’ran:
“Sesungguhnya pemimpin kamu adalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)” (AL Maidah: 55)

Ayat ini menjlaskan kriteria Ulil Amri yang umat Islam diperintahkan oleh Allah SWT untuk loyal kepada mereka:
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada rasulNya dan Ulil Amri di antara kamu…”(AN Nisa: 59)

Kriteria itu adalah mendirikan sholat (ibadah vertikal langsung kepada Allah), menunaikan zakat (ibadah yang hasilnya langsung bisa dirasakan oleh masyarakat-secara horisontal) dan pemimpin itu harus tunduk patuh kepada Allah dalam seluruh aspek kehidupannya (ra-ki’un)

Taat kepada Allah dan rasulNya bersifat mutlak (tanpa batas), sedangkan taat kepada Ulil Amri relatif (terbatas) yaitu selama masih di ruang lingkup taat kepada Allah dan rasulNYa. Taat perintah taat kepada Allah dan rasulNya disebutkan secara eksplisit sendiri-sendiri, sedangkan perintah taat kepada Ulil amri hanya di athafkan kepada perintah taat sebelumnya. Isyarat bahsa ini dipertegas oleh sabda Rasulullah SAW:
“Tidaklah kepatuhan kepada makhluk untuk mendurhakai Khaliq.”

Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas bahwa Allah SWT baru fungsional sebagai pemimpin bila Dia berfungsi sebagai Hakim (Yang menentukan hukum, Yang berkuasa, Yang memutuskan perkara), maka seorang yang beriman kepada Allah sebagai Wali haruslah mengimani Allah SWT sebagai Hakim yang menentukan hukum dan segala aturan lainnya.(titik tekan muwashofat bertahkim kepada hukum Allah)
Allah SWT menegaskan berkali-kali dalam kitab suci Al Qur’an bahwa hal utuk menentukan hukum, ini hanya ada di tangan Allah SWT.
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (Al An ‘am: 57)
“Dan ketahuilah bahwa segala hukum (pada hati itu) kepunyaanNya. Dan Dia lah pembuat perhitungan yang paling cepat.” (Al An An’am: 62)

Allah SWT memberikan predikat fasiqun, zhalimun dan kafirun kepada orang-orang yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah.
“Barang siapa yang tidak mau berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah maka merekalah orang-orang kafir.” (AL Maidah: 44)
“Barang siapa yang tidak mau berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah maka merekalah orang-orang zhalim.” (AL Maidah: 45)
“Barang siapa yang tidak mau berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah maka merekalah orang-orang fasiq.” (AL Maidah: 47)
Orang yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah karena benci, ingkar dan tidak meyakini hukum itu maka dia menjadi kafir. Bisa masih meyakini tapi masih melanggar atau tidak mau melaksanakannya, karena menuruti hawa nafsu maka orang tersebut disebut fasiq, dan bila hanya merugikan diri sendiri, dan disebut zhalim jika merugikan orang lain.
Bila Allah SWT adalah wali dan hakim, maka kita akan melakukan apa saja yang diridhaiNya. Atau dengan kata lain apa saja yang kita lakukan adalah dalam rangka mencari ridha Allah. Allah lah yang menjadi ghayah (tujuan) kita. Kita akan mengucapakan sebuah pernyataan:
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (AL An An’am:162)
Ringkasnya tauhid Mulkiyah adalah mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Malik yang mencakup pengertian sebagai wali, hakim dan ghayah.(titik tekan muwashofat bertahkim pada hukum Allah)

Continue
- -

Kewajiban Terhadap Rasul

Salah satu pilar iman adalah beriman terhadap para Rasul (QS 2:285). Ayat tersebut merupakan penegasan bahwa para rasul terdahulu itu beriman kepada rasul-rasul sebelumnya. Para Rasul adalah utusan Allah yang dipilih oleh-Nya dari tengah umat manusia, membawa ajaran yang benar, kemudian Allah memunculkan kebenaran mereka agar manusia dapat melestarikan kebenaran yang mereka bawa. Maka kita sebagai orang yang beriman pun memiliki kewajiban untuk meyakini bahwa para rasul itu diutus oleh Allah SWT, membawa ajaran kebenaran-Nya, dan kemudian mengikuti mereka. Terutama terhadap Nabi Muhammad SAW, sebagai penutup para Nabi dan penyempurna ajaran nabi-nabi sebelumnya.

Beriman kepada Rasulullah SAW merupakan salah satu konsekuensi dari pemahaman bersyahadah, yaitu Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah. Kesaksian kita akan jujur dan istiqomah jika diwujudkan menjadi sikap:

•Membenarkan dan mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW (QS 52: 2-4)
•Taat kepada Rasulullah SAW (QS 4:59-60)
•Menjauhi apapun yang dilarang dan tidak disukai Rasulullah SAW (QS 59:7)
•Tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang disyari’ahkan oleh Rasulullah SAW. Sabda Nabi: “Tidak beriman diantara kamu sehingga hawa nafsunya tunduk kepada apa yang kubawa” (HR Tirmidzi)

Kewajiban Terhadap Rasulullah SAW

Adapun diantara kewajiban kepada Rasulullah SAW adalah sebagai berikut:

1.Beriman kepada Rasulullah SAW (QS 4:136/ 7:158)
Allah menegaskan perintah keimanan kepada Rasulullah SAW lewat ayat di atas. Perintah-perintah dalam al-Qur’an secara umum berarti suatu kewajiban. Mustahil kita dapat mengikuti Rasulullah SAW, jika tidak diawali dengan beriman kepadanya terlebih dahulu.

2.Ketaatan kepada Rasulullah SAW (QS 4: 80)
Ketaatan kepada Nabi akan membawa kepada sikap mau mengikuti beliau (ittiba’). Tidak ada ketaatan yang mutlak, kecuali dilakukan kepada manusia yang membawa kebenaran Allah SWT. Ketaatan kepada Rasulullah SAW pada hakikatnya merupakan ketaatan kepada Allah (QS 4:80). Manusia wajib taat kepada Allah, kemudian Allah menegaskan bahwa ketaatan kepada Rasul adalah sebagian dari ketaatan kepada-Nya. Maka ketaatan kepada Rasul, wajib juga untuk umat Islam dan memiliki makna yang mendalam.

3.Mengikuti Rasulullah SAW (QS 3:31)
Yang kita lakukan dalam konteks beribadah, bermu’amalah dan berakidah harus mengikuti Rasulullah SAW, sebagaimana telah dicontohkan oleh beliau. Para ulama membuat sebuah kaidah: hal-hal yang berkaitan dengan masalah ibadah dan akidah hukum dasarnya tidak boleh, kecuali apa yang dicontohkan Rasulullah SAW kecuali ada dalil yang mengatakan boleh. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan muamalah (hubungan sesama umat manusia) hukum dasarnya adalah boleh, kecuali bila ada dalil yang mengatakan tidak boleh. Ittiba’ ini merupakan bagian dari rasa cinta kita kepada Rasulullah SAW. Mencintai Allah tak akan mungkin terjadi kecuali kita sungguh-sungguh mencintai Rasulullah SAW.

4.Bersholawat kepada Rasulullah SAW
Bila nama beliau disebut, kita wajib menyampaikan sholawat untuknya. Hal ini salah satu syarat turunnya syafaat di hari kiamat kelak.

5.Memahami bahwa Rasulullah SAW adalah Nabi penutup (QS 33:40)
Nabi adalah nabi terakhir, penutup para nabi. Tidak ada lagi nabi, rasul dan wahyu setelahnya. Umat Islam tidak perlu terjebak akan adanya klaim dari manusia yang mengaku bahwa dirinya adalah seorang nabi. Jikapun ada, bisa dipastikan bahwa hal itu palsu, tidak perlu diikuti bahkan harus diingkari. Aqidah tentang khotmun nubuwwah (Muhammad nabi terakhir) akan membebaskan kita dari masalah teologis. Kita tidak perlu lagi mencari ajaran-ajaran kewahyuan di luar ajaran Nabi SAW.

6.Membela Rasulullah SAW
Sikap cinta perlu dibuktikan dengan pembelaan kepada Rasulullah SAW. Khususnya dari pihak yang ingin mendiskreditkan, memfitnah Rasulullah SAW. Pembelaan kepada beliau berarti juga pembelaan kepada kebenaran dan keberlangsungan ajaran Islam. Allah selalu membela Nabi, dengan menurunkan mu’zijat, memberikan kemampuan berdebat, bahkan dengan menurunkan para malaikat kepada beliau.

Beberapa kewajiban kita kepada Rasulullah SAW, dilakukan karena dalam diri beliau terdapat panutan (suri teladan) yang baik dengan pengharapan pertemuan dengan Allah dan keselamatan dari azab api neraka (QS 33:21). Rasulullah SAW adalah tokoh yang layak, berkaitan dengan masalah moralitas, ibadah, dakwah, pendidikan, sosial, politik, perjuangan ekonomi, rumah tangga, bahkan peperangan. Melaksanakan kewajiban kepada Rasulullah SAW akan sempurna jika kita memahami karakteristik risalah yang dibawa beliau. Diantaranya adalah:
•Ajaran Nabi Muhammad adalah penggabungan ajaran rasul-rasul sebelumnya. Sehingga ajaran Nabi SAW adalah ajaran yang mensejarah dan berkaitan dengan kebenaran iman dan kebenaran syari’ah para nabi terdahulu (QS 2:136).
•Ajaran Muhammad bersifat universal. Allah mengutus Rasulullah SAW untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Risalah Nabi SAW cocok untuk semua kelompok manusia dan semua zaman. Hal ini dimungkinkan karena ajaran Islam karena Islam memenuhi kebutuhan realitas kehidupan. Di dalam al-Qur'an ada dialog antara wahyu dengan umat manusia, antara Rasulullah SAW dengan Allah, antara Rasulullah SAW dengan kaumnya.
•Ajaran Islam mementingkan yang mudah bagi manusia, menghilangkan yang sulit. Yang dimaksud dengan yang mudah bukan memudah-mudahkan. Melainkan kemudahan yang sesuai dengan fitrah manusia, yang sesuai denganr realisasi yang ma’ruf dan upaya untuk meninggalkan yang munkar.

Itulah beberapa kewajiban yang dapat dilakukan terhadap para rasul, khususnya Rasulullah SAW dan spesifikasi ajaran yang dibawa beliau. Sebagai bukti konsekuensi ikrar syahadah kepada Rasulullah SAW. Kita berupaya semaksimal mungkin untuk dapat melaksanakannya. Semoga Allah memberikan kemudahan.

Kewajiban Terhadap Rasul
oleh:
Ust. DR. Hidayat Nurwahid

Continue
- -

Ta'riful Quran

Pemahaman kaum muslimin secara umum terhadap al-Qur'an masih parsial (juz’i). Hal itu menyebabkan Al-Qur'an belum difungsikan secara menyeluruh dan utuh. Sebagian masyarakat memahami al-Qur'an sebagai obat (syifa) saja, maka mereka memfungsikannya hanya sebatas sebagai penyembuh. Sehingga, Al-Qur'an baru dekat dengan orang-orang yang sakit, sekarat atau sudah meninggal. Padahal al-Qur'an sebenarnya lebih dibutuhkan oleh orang-orang yang sehat. Sebagian yang lain hanya memahami al-Qur'an sebagai kitab bacaan yang pahalanya besar. Pemahaman yang terbatas ini mendorong masyarakat merasa puas setelah hanya membaca al-Qur'an. Pemungsian al-Qur'an oleh masyarakat sangat dipengaruhi oleh pengetahuan (tashawur) dan persepsi mereka terhadap al-Qur'an itu sendiri. Hal inilah yang membuat pengenalan terhadap al-Qur'an menjadi sangat penting.

1.Pengertian al-Qur'an (ta’riful Qur’an)

Para ulama tafsir al-Qur'an dalam berbagai kitab ‘ulumul qur’an, ditinjau dari segi bahasa (lughowi atau etimologis) bahwa kata al-Qur'an merupakan bentuk mashdar dari kata qoro’a – yaqro’uu – qiroo’atan – wa qor’an – wa qur’aanan. Kata qoro’a berarti menghimpun dan menyatukan; al-Qur'an pada hakikatnya merupakan himpunan huruf-huruf dan kata-kata yang menjadi satu ayat, himpunan ayat-ayat menjadi surat, himpunan surat menjadi mushaf al-Qur'an. Di samping itu, mayoritas ulama mengatakan bahwa al-Qur'an dengan akar kata qoro’a, bermakna tilawah: membaca. Kedua makna ini bisa dipadukan menjadi satu, menjadi “al-Qur'an itu merupakan himpunan huruf-huruf dan kata-kata yang dapat dibaca”

Makna al-Qur'an secara ishtilaahi, al-Qur'an itu adalah “Firman Allah SWT yang menjadi mu’jizat abadi kepada Rasulullah yang tidak mungkin bisa ditandingi oleh manusia, diturunkan ke dalam hati Rasulullah SAW, diturunkan ke generasi berikutnya secara mutawatir, ketika dibaca bernilai ibadah dan berpahala besar” Dari definisi di atas terdapat lima bagian penting:

•Al-Qur'an adalah firman Allah SWT (QS 53:4), wahyu yang datang dari Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung. Maka firman-Nya (al-Qur'an) pun menjadi mulia dan agung juga, yang harus diperlakukan dengan layak, pantas, dimuliakan dan dihormati.
•Al-Qur'an adalah mu’jizat. Manusia tak akan sanggup membuat yang senilai dengan al-Qur'an, baik satu mushaf maupun hanya satu ayat.
•Al-Qur'an itu diturunkan ke dalam hati Nabi SAW melalui malaikat Jibril AS (QS 26:192). Hikmahnya kepada kita adalah hendaknya al-Qur'an masuk ke dalam hati kita. Perubahan perilaku manusia sangat ditentukan oleh hatinya. Jika hati terisi dengan al-Qur'an, maka al-Qur'an akan mendorong kita untuk menerapkannya dan memasyarakatkannya. Hal tersebut terjadi pada diri Rasululullah SAW, ketika al-Qur'an diturunkan kepada beliau. Ketika A’isyah ditanya tentang akhlak Nabi SAW, beliau menjawab: Kaana khuluquhul qur’an; akhlak Nabi adalah al-Qur'an.
•Al-Qur'an disampaikan secara mutawatir. Al-Qur'an dihafalkan dan ditulis oleh banyak sahabat. Secara turun temurun al-Qur'an itu diajarkan kepada generasi berikutnya, dari orang banyak ke orang banyak. Dengan cara seperti itu, keaslian al-Qur'an terpelihara, sebagai wujud jaminan Allah terhadap keabadian al-Qur'an. (QS 15:9).
•Membaca al-Qur'an bernilai ibadah, berpahala besar di sisi Allah SWT. Nabi bersabda: “Aku tidak mengatakan alif laam miim satu huruf, tetapi Alif satu huruf, laam satu huruf, miim satu huruf dan satu kebaikan nilainya 10 kali lipat” (al-Hadist).

Ali bin Abi Thalib berkata: Aku dengar Rasulullah SAW bersabda: “Nanti akan terjadi fitnah (kekacauan, bencana)” Bagaimana jalan keluar dari fitnah dan kekacauan itu Hai Rasulullah? Rasul menjawab: “Kitab Allah, di dalamnya terdapat berita tentang orang-orang sebelum kamu, dan berita umat sesudah kamu (yang akan datang), merupakan hukum diantaramu, demikian tegas, barang siapa yang meninggalkan al-Qur'an dengan sengaja Allah akan membinasakannya, dan barang siapa yang mencari petunjuk pada selainnya Allah akan menyesatkannya, Al-Qur'an adalah tali Allah yang sangat kuat, cahaya Allah yang sangat jelas, peringatan yang sangat bijak, jalan yang lurus, dengan al-Qur'an hawa nafsu tidak akan melenceng, dengannya lidah tidak akan bercampur dengan yang salah, pendapat manusia tidak akan bercabang, dan ulama tidak akan merasa puas dan kenyang dengan al-Qur'an, orang-orang bertaqwa tidak akan bosan dengannya, al-Qur'an tidak akan usang sekalipun banyak diulang, keajaibannya tidak akan habis, ketika jin mendengarnya mereke berkomentar ‘Sungguh kami mendengarkan al-Qur'an yang menakjubkan’, barang siapa yang mengetahui ilmunya dia akan sampai dengan cepat ke tempat tujuan, barang siapa berbicara dengan landasannya selalu benar, barang siapa berhukum dengannya hukumnya adil, barang siapa yang mengamalkan al-Qur'an dia akan mendapatkan pahala, barang siapa yang mengajak kepada al-Qur'an dia diberikan petunjuk ke jalan yang lurus” (HR Tirmidzi dari Ali r.a.)

2.Nama-nama al-Qur'an
Di dalam al-Qur'an terdapat banyak nama-nama al-Qur'an. Dibalik nama itu kita akan memahami fungsi al-Qur'an.

Al-Qur'an
Nama yang paling populer adalah al-Qur'an itu sendiri, Allah menyebutkannya 58 kali. Penyebutan berulang-ulang itu menjadi peringatan bagi manusia agar dapat memfungsikan al-Qur'an sebagai bacaan agar mendapatkan petunjuk dalam hidup (QS 2: 185)

Al-Kitab
Artinya, wahyu yang tertulis. Menurut Syaikh Abdullah ad Diros, penamaan dengan al-Kitab menunjukkan bahwa al-Qur'an tertulis dalam mushaf dan hendaknya melekat di dalam hati. Rasulullah bersabda: “Orang yang di dalam hatinya tidak ada sedikitpun al-Qur'an, bagaikan rumah yang rusak” (al-Hadist)

Al-Huda
Artinya, petunjuk (QS 2:2). Sebagai petunjuk (al-Huda) merupakan fungsi utama dari diturunkannya al-Qur'an (QS 2:185). Kita tidak dapat menjadikan al-Qur'an sebagai petunjuk jika kita tidak membaca dan memahaminya, mengamalkannya dengan baik.

Rahmah
Berarti rahmat, terutama bagi orang-orang yang beriman (QS 17:82).

Nur
Berarti cahaya penerang. Konsekuensi dari pemahaman ini adalah dengan menjadikan al-Qur'an sebagai cahaya yang menerangi jalan hidup kita (QS 5:15-16). Kita melihat tuntunan al-Qur'an, kemudian melangkah dengan tuntunan itu.

Ruh
Berarti ruh sebagai penggerak (QS 16:2). Ruh menggerakkan jasad manusia. Dengan nama ini Allah SWT ingin agar al-Qur'an dapat menggerakkan langkah dan kiprah manusia. Terutama perannya untuk memberikan peringatan kepada seluruh manusia bahwa tidak ada Ilah selain Allah.

Syifa’
Berarti obat (QS 10:57). Al-Qur'an merupakan obat penyakit hati dari kejahiliyahan, kemusyrikan, kekafiran dan kemunafikan.

Al-Haq
Berarti kebenaran (QS 2:147).

Bayan
Berarti penjelasan atau penerangan (QS 3:138; 2:185).

Mauizhoh
Berarti pelajaran dan nasehat (QS 3:138).

Dzikr
Berarti yang mengingatkan (QS 15:9).

Naba’
Berarti berita (QS 16:89). Di dalam al-Qur'an memuat berita-berita umat terdahulu dan umat yang akan datang.

3.Fungsi dan kedudukan al-Qur'an

Fungsi utama dari al-Qur'an adalah kitab petunjuk (kitabul hidayah). Di samping itu al-Qur'an juga memiliki fungsi-fungsi yang lain, antara lain:
•Kitab berita (an-Naba’ wal akhbar) (QS 78:1-2)
•Kitab hukum dan aturan (al-hukmu wasy syari’ah) (QS 5:49-50)
•Kitab berjuang (Kitabul Jihad) (QS 29:69)
•Kitab pendidikan (Kitabut tarbiyyah) (QS 3: 79)
•Kitab ilmu pengetahuan (Kitabul ‘Ilm)

Continue
- -

Iman Kepada Malaikat

Adalah wajib bagi kaum muslimin untuk mengimani malaikat yang namanya disebutkan dalam Al-Quran atau Sunnah secara rinci. Di antara mereka, adalah tiga yang menjadi pemimpinnya yakni Jibril, Mikail, dan Israfil.
Jibril adalah malaikat yang ditugaskan menyampaikan wahyu, yang dengannya hati dan jiwa hidup. Telah disebutkan nama Jibril dan Mikail dalam Al-Quran. Firman-Nya:
“Katakanlah barang siapa yang memusuhi jibril, maka sesunguhnya ia telah menurunkannya (Al-quran) kepada hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman. Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah aalah musuh orang-orang kafir.” (QS, 2:97-98)

Allah menyanjung malaikat dengan sebaik-baik sanjungan dan mensifatinya dengan seindah-indah sifat. Di antaranya firman Allah swt:
“Sungguh akau bersumpah dengan binang-bintang, yang beredar dan terbenam. Demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya. Dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing. Sesungguhnya, Al-Qur-an itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan di sisi Allah, yang mempunyai ‘arasy, yang ditaati di sana(di alam malaikat) lagi dipercaya.” (QS, 81:15-21)

Adapun Mikail, ia adalah malaikat yang ditugaskan mengatur hujan yang dengannya tanah, tumbuhan, dan binatang menjadi hidup. Sedangkan Israfil adalah malaikat yang ditugaskan meniup sangkakala yang dengannya manusia bangkit dari kematian. Di antara malaikat yang disebutkan namanya dalam Al-Quran adalah malaikat penjaga neraka. Firman Allah Ta’ala:”Dan mereka menyeru , wahai Malik, hendaklah Tuhanmu membinasakan kami.”
Jadi , mereka dan malaikat lain yang namanya disebutkan dalam hadist-hadist shahih wajib diimani, termasuk pekerjaan dan tugas mereka. Adapun malaikat yang namanya tidak disebutkan maka kita wajib mengimaninya secara global. Dan kita mengimani kelompok-kelompok dan pekerjaan-pekerjaan mereka yang disebutkan dalam Al-Quran dan Sunnah. Maka kita mengimani al kiramil katibin (para malaikat mulia yang mencatat) yang Allah jadikan sebagai penjaga kita, sebagaimana firman-Nya:
“Dan sesungguhnya pada pada kalian ada penjaga. Mereka adalah malaikat yang mulia dan mencatat amal kalian. Merka mengeahui apa yang kalian lakukan.” (QS,82:10-12)

‘Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya secara bergiliran di muka dan di belakang, merekamenjaganya atas perintah Allah.” (QS, 13:11)

Dalam beberapa kitab tafsir, dijelaskan bahwa para pencatat itu adalah dua malaikat. Satu dikanan dan satu di kiri. Mereka mencatat amal. Yang disebelah kanan mencatat amal kebaikan dan yang kiri mencatat amal kejelekan. Dan dua malaikat lainnya menjaganya. Satu di depan dan satu lagi dibelakang. Jadi ia berada di antara empat malaikat. Rasulullah saw bersabda:
“Tidaklah seorang pun di antara kalian melainkan diutus kepadanya qarin (teman)-Nya dari jin dan qarinnya dari malaikat.”para sahabat bertanya “kepadamu juga wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab kepadaku juga akan tetapi, Allah telah membantu untuk mengalahkannya, lalu ia menyerah, maka ia tidak menyruhku selain kebaikan.”(HR. Ahmad dan Muslim)

Kita juga mengimani adanya Malakul-maut yang ditugaskan mencabut nyawa. Allah berfirman:
‘Katakanlah, Malakul-maut yang ditugaskan untuk (mencabut nyawa) kalian akan mematikan kamu. Kemudia hanya kepada Tuhanmu kamu akan dikembalikan.” (QS, 32:11)

Al-Quran maupun Sunnah yang sahih tidak menjelaskan namanya. Pada sebagian atsar disebutkan bahwa namanya adalah Izrail.
Kita mengimani adanya malaikat pemikul arsy yang diterangkan oleh Allah dalam Al-Quran:
“Dan malaikat-malaikat berada di penjuru langit. Dan pada hari itu, delapan malaikat menjunjung ‘arasy Rabb kamu di atas kepala mereka.” (QS, 69:17)

Di antara mereka adalah Israfil yang meniup sangkakala. Kita juga mengimani adanya malaikat yang ditugaskan menjaga neraka—semoga Allah melindungi kita darinya. Mereka itulah Zabaniyah. Para pemukanya ada sembilan belas malaikat . Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang berada dalam neraka berkata kepada penjaga-penjaga neraka jahannam, ‘Mohonkallah kepada Tuhanmu supaya Dia meringankan adzab dari kamu baang sehari.” (QS, 40:49)

Di lain surah Allah berfirman pula:
“Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa-apa yang diperintahkan kepada mereka.”(QS, 66:6)

“Di atasnya ada sembilan belas malaikat. Dan tidaklah kami jadikan penjaga neraka melainkan malaikat.” (QS, 74:30-31)

Kita mengimani adanya malaikat penjaga surga yang menyiapkan pelayanan untuk para penghuni surga. Baik berupa pakaian, makanan, minuman, dan lain-lain yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak terlintas dalam benak manusia.

DAMPAK IMAN KEPADA MALAIKAT DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

Telah disebutkan terdahulu bahwa tidaklah Allah memberitahukan kepada kita sesuatu yang gaib melainkan pasti di dalamnya ada kenikmatan yang besar bagi makhluk-Nya. Dan adalah merupakan karunia-Nya yang besar kepada kita bahwa Dia memperkenalkan kepada kita makhluk-makhluk mulia itu. Mengimani adalah merupakan keimanan kepada hal gaib, yang dengan hal itu Dia mensifati orang yang bertaqwa. Firman-Nya:
“Alif laam miim. Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya;petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, da menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka,” (QS,2:1-3)

Iman kepada malaikat menimbulkan pengaruh yang agung dalam kehidupan seorang mukmin, di antaranya:
Pertama : lebih bersyukur kepada Allah swt atas perhatian dan perlindungan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya dengan menugaskan para Malaikat untuk menjaga, membantu dan mendoakan hamba-hambanya.
Kedua : dengan informasi-informasi itu, Allah swt menjauhkan kita dari khurafat dan prasangka-prasangka yang biasanya menyelimuti orang-orang yang tidak beriman kepada gaib dan tidak menyerang ilmu dari wahyu ilahi.
Ketiga : mendorong seseorang untuk istiqamah di atas perintah Allah. Sebab orang menyadari adanya malaikat, dan mengimani bahwa mereka mengawasi perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan mereka serta menyaksikan segala yang muncul dari dirinya, ia akan merasa malu kepada Allah dan kepada tentara-Nya.

Continue