mencoba berbagi untuk semua

- -

Mungkin kita sering bertanya-tanya mengenai kata ini, mana sebenarnya yang tepat. Apakah silaturrahmi atau silaturrahim. Nah, berikut ini penjelasan mengenai hal tersebut yang saya kutip dari eramuslim

-------------------------------

Yang benar adalah Silaturahim bukan silaturrahmi sebagaimana disebutkan didalam nash-nash hadits tentangnya, diantaranya :


عَنْ أَبِى أَيُّوبَ الأَنْصَارِىِّ - رضى الله عنه أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِى بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِى الْجَنَّةَ . فَقَالَ الْقَوْمُ مَالَهُ مَالَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « أَرَبٌ مَالَهُ » . فَقَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « تَعْبُدُ اللَّهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، وَتُقِيمُ الصَّلاَةَ ، وَتُؤْتِى الزَّكَاةَ ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ ، ذَرْهَا » . قَالَ كَأَنَّهُ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ .

Dari Abu Ayyub Al Anshari radliallahu 'anhu bahwa seorang laki-laki berkata; "Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke surga." Orang-orang pun berkata; "Ada apa dengan orang ini, ada apa dengan orang ini." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Biarkanlah urusan orang ini." Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melanjutkan sabdanya: "Kamu beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya, menegakkan shalat, dan membayar zakat serta menjalin tali silaturrahim." Abu Ayyub berkata; "Ketika itu beliau berada di atas kendaraannya." (HR. Bukhari)


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « تَعَلَّمُوا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُونَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِى الأَهْلِ مَثْرَاةٌ فِى الْمَالِ مَنْسَأَةٌ فِى الأَثَرِ ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ. وَمَعْنَى قَوْلِهِ « مَنْسَأَةٌ فِى الأَثَرِ ». يَعْنِى زِيَادَةً فِى الْعُمُرِ.

Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Belajarlah dari nasab kalian yang dapat membantu untuk silaturrahim karena silaturrahim itu dapat membawa kecintaan dalam keluarga dan memperbanyak harta, serta dapat memperpanjang umur." Abu Isa berkata: Ini merupakan hadits gharib melalui jalur ini.


Berkaitan dengan hal ini, para ulama hadits memberikan judul pada salah satu babnya didalam kitab-kitab haditsnya dengan silaturahim, seperti : Imam Bukhori didalam Shahihnya memberikan judul “Bab Silaturahim”, Muslim didalam Shahihnya dengan judul “Bab Silaturhim wa Tahrimi Qothiatiha”, Abu Daud didalam Sunannya dengan “Bab Silaturahim” dan Tirmidzi didalam Sunannya dengan “Bab Maa Ja’a Fii Silaturahim”


Sedangkan makna Rahim dengan memfathahkan huruf Ro dan mengkasrahkan Ha, sebagaimana dikatakan al Hafizh Ibnu Hajar didalam kitabnya “Fathul Bari” digunakan untuk kaum kerabat dan mereka adalah orang-orang yang diantara sesama mereka memiliki hubungan nasab, baik mewariskannya atau tidak, baik memiliki hubungan mahram atau tidak. Namun ada juga yang mengatakan : mereka adalah para mahram saja. Namun pendapat pertama lah yang tepat karena pendapat kedua mengharuskan dikeluarkannya (tidak termasuk didalamnya) anak-anak lelaki dari paman baik dari jalur bapak atau ibu dari kalangan dzawil arham, padahal bukanlah demikian. (Fathul Bari juz XVII hal 107)


Continue
- -

Kartini menemukan dalam surat Al-Baqarah ayat 257 bahwa ALLAH-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minazh-Zhulumaati ilan Nuur). Sejak itu Kartini bertekad untuk berupaya untuk memperbaiki citra Islam yang selalu dijadikan bulan-bulanan dan sasaran fitnah.
....


Waktu SMP dulu saya pernah membaca buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang berisi kumpulan surat-surat Kartini (sekarang buku itu entah dimana L). Meski dulu saya belum begitu faham benar dengan isi buku itu, ada beberapa isi surat yang waktu itu agak ‘mengganggu’ pikiran saya ketika Kartini bersinggungan dengan Islam.

Saya baru-baru ini mendapati beberapa posting yang membahas surat-surat itu serta transformasi spiritual Kartini, saya coba sarikan.

Persinggungan awal Kartini dengan Islam dapat dibaca dari surat-surat berikut:

“Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?” [Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899]

“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya. [Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902]

Untuk ukuran seorang perempuan dan ukuran zaman itu (bahkan ukuran zaman sekarang sekalipun) pendapat Kartini ini benar-benar sangat kritis dan sangat berani.

Suatu ketika, takdir membawa Kartini pada suatu pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat yang juga adalah pamannya. Pengajian dibawakan oleh seorang ulama bernama Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar(atau dikenal Kyai Sholeh Darat) tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertarik sekali dengan materi yang disampaikan (ini dapat dipahami mengingat selama ini Kartini hanya membaca dan menghafal Quran tanpa tahu maknanya). Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Berikut ini dialog-nya (ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat).

“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?”

Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu.

“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?”. Kyai Sholeh Darat balik bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas dalam pikirannya.

“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Setelah pertemuan itu nampaknya Kyai Sholeh Darat tergugah hatinya. Beliau kemudian mulai menuliskan terjemah Quran ke dalam bahasa Jawa. Pada pernikahan Kartini , Kyai Sholeh Darat menghadiahkan kepadanya terjemahan Al-Quran (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran), jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah sampai dengan surat Ibrahim. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Tapi sayang, tidak lama setelah itu Kyai Sholeh Darat meninggal dunia, sehingga Al-Quran tersebut belum selesai diterjemahkan seluruhnya ke dalam bahasa Jawa.

Kartini menemukan dalam surat Al-Baqarah ayat 257 bahwa ALLAH-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minazh-Zhulumaati ilan Nuur). Rupanya, Kartini terkesan dengan kata-kata Minazh-Zhulumaati ilan Nuur yang berarti dari gelap kepada cahaya karena Kartini merasakan sendiri proses perubahan dirinya, dari kegelisahan dan pemikiran tak-berketentuan kepada pemikiran hidayah (how amazing…).

Dalam surat-suratnya kemudian, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat “Dari Gelap Kepada Cahaya” ini. (Sayangnya, istilah “Dari Gelap Kepada Cahaya” yang dalam Bahasa Belanda adalah “Door Duisternis Tot Licht” menjadi kehilangan maknanya setelah diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan istilah “Habis Gelap Terbitlah Terang”).

Nampaknya masa-masa ini terjadi transformasi spiritual bagi Kartini. Pandangan Kartini tentang Barat-pun mulai berubah, setelah sekian lama sebelumnya dia terkagum dengan budaya Eropa yang menurutnya lebih maju dan serangkaian pertanyaan-pertanyaan besarnya terhadap tradisi dan agamanya sendiri.

Ini tercermin dalam salah satu suratnya:

“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” [Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902]

“Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan” (surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 10 Juni 1902)

Kartini juga menentang semua praktek kristenisasi di Hindia Belanda :

“Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi? …. Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?” [Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 31 Januari 1903]

Bahkan Kartini bertekad untuk berupaya untuk memperbaiki citra Islam yang selalu dijadikan bulan-bulanan dan sasaran fitnah. Dengan bahasa halus Kartini menyatakan :

“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902].

Di surat-surat lain :

“Astaghfirullah, alangkah jauhnya saya menyimpang” (Surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 5 Maret 1902)

“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu: Hamba Allah (Abdulloh).” (Surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 1 Agustus 1903)

“Kesusahan kami hanya dapat kami keluhkan kepada Alloh, tidak ada yang dapat membantu kami dan hanya Dia-lah yang dapat menyembuhkan.” (surat Kartini kepada Nyonya Abandanon, 1 Agustus 1903)

“Menyandarkan diri kepada manusia, samalah halnya dengan mengikatkan diri kepada manusia. Jalan kepada Allah hanyalah satu. Siapa sesungguhnya yang mengabdi kepada Allah, tidak terikat kepada seorang manusia punm ia sebenar-benarnya bebas” (Surat kepada Ny. Ovink, Oktober 1900)

#sumber: http://bimasislam.kemenag.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=230&catid=49:artikel

Continue
- -

Mari Nyalakan Lilin

Apa arti sebuah lilin dalam kehidupan ? Mungkin ini terlalu dipertanyakan. Sebab lilin hanya sebuah benda kecil. Kegunaannya baru tampak manakala lampu listrik padam. Tapi lilin adalah cahaya. Dan cahaya adalah sebentuk materi. Kebalikannya adalah gelap. Gelap bukan materi, ia tak memiliki daya. Ia adalah keadaan hampa tanpa cahaya. Karena itu, meskipun kecil, lilin selalu dapat mengusir gelap.

Allah memisalkan petunjukNya dengan cahaya, dan kesesatan sebagai gelap. Ini mengisyaratkan, pasukan kesesatan tidak memiliki sedikitpun daya di depan pasukan cahaya. Ia hadir manakala pasukan cahaya menghilang. Sepanjang sejarah, ummat mengalami kesesatan, ketika roda "harokah da'wah" berhenti bergerak.

Disini tersirat sebuah kaidah da'wah. Bahwa gelap yang menyelimuti langit, sebenarnya dapat diusir dengan mudah, bila kita mau menyalakan lilin da'wah. Berhentilah mengu- tuk gelap. Ia toh tak berwujud dan tak berdaya.Tak ada yang dapat kita selesaikan dengan kutukan. Sama halnya dengan ratapan di hadapan bencana. Tak ada guna, sia-sia.

Masih ada sikap lain, yang ijabiah (positif), dalam menghadapi realita. Kenyataan yang paling buruk sekalipun tak boleh melebihi kapasitas jiwa dan iman kita untuk menghadapinya. Ini resep kita.

Maka, dalam gelap lebih baik menutup mata lalu nyalakan lilin dan katakanlah dengan suara mantab, "telah datang kebenaran. Sesungguhnya kebatilan itu pasti sirna".

Continue
- -

Berikut merupakan Ebook berjudul Fiqih Sunnah vol 1 karya Sayyid Sabiq ..



bisa didownload lewat link dibawah ini
download

Continue
- -

Berikut merupakan Ebook berjudul Tamasya Ke Syurga karya Ibnul Qayyim Al Jauziyah.. file berbentuk .djvu.. untuk membukanya menggunakan djvu viewer yang sudah tersedia di dalamnya..



bisa didownload lewat link dibawah ini
download

Continue
- -

Berikut merupakan Ebook berjudul Al Biyadah Wan Nihayah,, Masa Khulafaur Rasyidin karya Ibnu Katsir ..



bisa didownload lewat link dibawah ini
download

Continue
- -

Berikut merupakan Ebook berjudul Riyadhus Shalihin karya Imam An Nawawi (jilid 1 dan jilid 2) ..



bisa didownload lewat link dibawah ini
Jilid 1


Jilid 2

Continue
- -

Berikut merupakan Ebook berjudul Kunci Kebahagiaan karya Ibnul Qayyim Al Jauziyah ..



bisa didownload lewat link dibawah ini
download

Continue
- -

Berikut merupakan Ebook berjudul Measurement & Instrumentation Principles karangan Alan S Morris.. Merupakan buku acuan untuk mata kuliah Instrumentasi I prodi elins UGM..



Dapat didownload di bawah ini
download

Continue
- -

Berikut merupakan Ebook berjudul Mencari Pahlawan Indonesia karya Anis Matta..



bisa didownload lewat link dibawah ini
download

Continue
- -

Tidak Imma'ah

Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu syaitan-syaitan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan). (Al-A’raaf: 202)

Begitu sulitnya saat ini membedakan antara teman yang baik dengan yang buruk. Padahal kelak teman kitalah yang akan menentukan masa depan dan akhir kesudahan kita di surga atau neraka. Teman yang baik akan membawa kita ke surga, sedangkan teman yang buruk akan menyeret kita ke dalam api neraka.

Rasulullah SAW bersabda: “Jika engkau hendak mengenal seseorang (siapa dan bagaimana dia?), maka lihatlah dengan siapa dia berteman. Maka seperti itulah dia”. (Al Hadits)

Sehingga begitu berarti dan pentingnya kita dalam memilih teman yang akan mempengaruhi pola fikir, jalan/ cara hidup, cara berbicara, dan cara bergaul kita. Lebih lanjut, Nabi SAW mengatakan bahwa: “Sesungguhnya setiap bayi yang dilahirkan itu dalam keadaan suci/ fitroh (Islam), maka kelak keluarga dan masyarakatnyalah (teman) yang akan menjadikan dia Nashrani, Majusi atau Yahudi (Al Hadits).

Dalam sabdanya yang lain: “Jika kau berteman dengan pandai besi, maka engkau akan terkena panas baranya, tetapi jika engkau berteman dengan penjual minyak wangi, maka engkau akan mencium harum wanginya” (Al Hadits).

Untaian-untaian pesan Nabi SAW tersebut adalah sebuah gambaran akan begitu pentingnya memilih teman yang baik dan menjadikan kita semakin taat dan beriman kepada Rabb kita, Allah SWT. Bukan berteman dengan orang yang tidak beriman atau mengajak kita berbuat maksiat dan menyekutukan Allah. Lebih lanjut Allah SWT berfirman:

QS. Ali Imran: 118. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh Telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.

Terkadang kita cenderung sembarangan dalam memilih teman. Kita memilih teman dengan mengikuti orang lain atau trend yang berkembang dalam masyarakat atau lingkungan tersebut. Jika trend lingkungan didominasi oleh orang yang disegani oleh orang lain karena kebrutalannya, maka kita dianggap nggak gaul atau tidak wajar jika tidak berteman dan mengikuti mereka. Padahal mereka cenderung tergolong sebagai ahli neraka (jika mereka tidak bertobat), daripada ahli surga.

Padahal telah jelas bagi kita, bahwa akhir kesudahan itu hanya ada dua kemungkinan, surga atau neraka! Sementara nanti jika kita telah masuk ke dalam neraka, Allah SWT berfirman:

QS. Al A’raaf: 38. Allah berfirman: "Masuklah kamu sekalian ke dalam neraka bersama umat-umat jin dan manusia yang Telah terdahulu sebelum kamu. setiap suatu umat masuk (ke dalam neraka), dia mengutuk Kawannya (yang menyesatkannya); sehingga apabila mereka masuk semuanya berkatalah orang-orang yang masuk kemudiandi antara mereka kepada orang-orang yang masuk terdahulu"Ya Tuhan kami, mereka Telah menyesatkan kami, sebab itu datangkanlah kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dari neraka". Allah berfirman: "Masing-masing mendapat (siksaan) yang berlipat ganda, akan tetapi kamu tidak Mengetahui".

Sehingga seperti pesan qudwah kita, Rasulullah SAW lagi dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi:

“Janganlah salah satu di antara kamu sekalian ber-imma’ah (ikut-ikutan), yang jika orang lain baik maka engkau baik; dan jika mereka jelek maka engkau jelek pula.

Akan tetapi hendaklah engkau tetap konsisten terhadap (keputusan) dirimu. Jika orang lain baik, maka engkau baik; dan jika mereka jelek, hendaklah engkau jauhi keburukan mereka”.

Rasulullah SAW memberikan kita sebuah pesan yang melarang kita ikut-ikutan orang berbuat buruk, tetapi kita diharuskan untuk konsisten (istiqomah) dalam kebaikan.

Lalu bagaimana konsisten (istiqomah) dalam kebaikan itu? Supaya kita bisa terus berada dalam kebaikan. Mudah saja, ada beberapa cara yang dapat kita lakukan:

1. Memilih dan memiliki teman yang jelas arah dan tujuan hidupnya, yaitu untuk beribadah pada Allah SWT.

QS. Ali Imran: 28 : Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi teman dengan meninggalkan orang-orang mukmin.

2. Jauhi tempat-tempat maksiat (nongkrong yang sia-sia menghabiskan waktu) yang berisi orang-orang yang lalai dari mengingat Allah.

3. Tinggalkan orang-orang yang melupakan Allah SWT dan melupakan hari pembalasan.

QS. Jaatsiyah: 34 : Dan dikatakan (kepada mereka): "Pada hari Ini kami melupakan kamu sebagaimana kamu Telah melupakan pertemuan (dengan) harimu Ini dan tempat kembalimu ialah neraka dan kamu sekali-kali tidak memperoleh penolong".

4. Jauhi orang-orang yang mengolok-olok Allah dan Rasul-Nya.

QS. Al A’raaf: 51 : (yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia Telah menipu mereka.

Teman seperti apakah yang harus kita pilih? Di mana kita dapatkan?

1. Teman yang dewasa, tetapi bukan teman yang sekedar lebih tua saja. Sebab, lebih tua belum tentu dewasa. Teman dewasa adalah teman yang dewasa aqidahnya, bukan sekedar libidonya. Ia dikenal baik dan mampu membedakan yang baik dengan yang bathil dan mengajarkan serta mengajak berbuat kebaikan.

2. Teman yang pandai dan rajin beribadah, sebab pandai aja gak cukup. Orang pandai ada yang baik ada yang buruk, standard orang pandai yang baik adalah yang rajin ibadah.

3. Teman yang baik berada di tempat yang baik. Di masjid dan musholla, sebab, Nabi SAW senantiasa berpesan: “salah satu golongan yang akan mendapat syafaat pada hari perhitungan nanti adalah pemuda yang hatinya terpaut pada masjid”.

Continue