mencoba berbagi untuk semua

- -

Tauhidullah part1

Makna tauhid berasal dari kata wahhada, yuwahhidu, tauhid yang berarti mengesakan. Jadi esensi iman kepada Allah adalah Tauhid yaitu mengesakan-Nya, baik dalam zat, asma’ was-shiffaat, maupun af’al-Nya.
Secara sederhana Tauhid dapat dibagi dalam tiga tingkatan yaitu Tauhid Rububiyah (Mengimani Allah sebagai satu-satunya Rabb), Tauhid Ilahiyah (mengimani Allah swt sebagai satu-satunya Ilah ), dan Tauhid Mulkiyah (mengimani Allah swt sebagai satu-satunya Malik). Pembagian ini didasarkan pada firman Allah dalam Surat An-Nass. Sedangkan Dr. Muhammad Nu’im Yassin membagi Tauhid menjadi Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma’ wa Shifat). Perbedaan pembagian Tauhid ini semata-mata persoalan ijtihad saja dalam rangka mempermudah memahami konsep Tauhid. Masing-masing mempunyai titik fokus sendiri-sendiri. Sebagian yang berpendapat bahwa tauhid mulkiyah perlu dimunculkan menjadi bagian pembahasan tauhid karena saat sekarang ini diperlukan penyadaran kepada umat Islam bahwa hanya Allahlah yang mempunyai kekuasaan. Sedangkan sebagain yang berpendapat bahwa Tauhid Asma’ wa-Shifat perlu juga dibahas tersendiri karena saat itu terdapat penyimpangan dari kaum sebagain kamum muslimin dalam memahami asma’ wa shifat. Dikarenakan tidak ada perbedaan dalam masalah isi maka kedua pendapat tersebut akan digabungkan menjadi satu sehingga semua macam Tauhid dapat terbahas dengan tuntas.

Tauhid Rububiyyah
Secara etimologis kata “Rabb” sebenarnya mempunyai banyak arti, antara lain menumbuhkan, mengembangkan, mendidik, memelihara, memperbaiki, menanggung, mengumpulkan, mempersiapkan, memimpin, mengepalai, menyelesaikan suatu perkara memiliki dan lain-lain (lihat uraian etimologis Maududy dalam Ketuhanan, Ibadah dan Agama, 1983, 30-34)., namun untuk lebih sedehana dalam hubungannya dengan Rubbubiyyatullah (Tauhid Rububiyyah) kita mengambil beberapa arti saja yaitu mencipta, memberi rezeki, memelihara, mengelola dan memiliki (kata-kata mencipta, memberi rezki, mengelola disimpulkan dari beberapa pengertian etismologis di atas), dan sebagian arti “Rabb” kita masukkan secara khusus ke dalam pengertian Mulkiyatullah (Tauhid Mulkiyah) seperti memimpin, mengepalai, dan menyelesaikan suatu perkara, dengan pengertian di atas ayat Allah SWT : “Alhamdulillahi rabbil ‘allamin” bisa dipahami bahwa segala puja dan puji hanya milik Allah Yang Mencipta, Memberi Rezeki, Memelihara, Mengelola dan Memiliki alam semesta. Begitu juga ayat :”Qul ‘audzubirabbinnas” bisa dipahami : Katakanlah (Hai Muhamamd), aku berlindung dengan Yang Mencipta, Memberi Rezeki, Memelihara, Mengelola (kehidupan ) dan memiliki manusia. Pengertian bahwa Allah SWT satu-satunya Dzat Yang Mencipta, Memberi Rezeki, Memelihara, Mengelola dan Memiliki, banyak kita pahami dari kitab suci Al Qur’an, antara lain dalam ayat-ayat berikut ini :
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.” (Al Baqarah: 21)
“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan ari hujan dari langit lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (Al Baqarah: 22)
“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan (Yang berhak disembah) selain Dia, maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?” (Fathir: 3)
“Dan Allah mencipatkan kamu dari tanah kemudian air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang pun mengandung dan tidak (pula) melahirkan kecuali dengan sepengetahuanNya. Dan sekali-kali tidak dipanjang kan umur seseorang yang berumur panjang, dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.” ( Fathir: 11)

“Dan tidak sama (antara) dua laut: yang ini tawar, segar sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya, dan pada masing-masingnya kamu lihat kapal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu dapat mencari karuniaNya dan supaya kamu bersyukur.” (Fathir: 12)
“Dia memasukkan malam ke dalam siang dsan memasukakn siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Tuhanmu, kepunyaanNya lah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (Fathir: 13)
“Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui.” (Al Mukminun: 84)
“Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah, ‘Kataklanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?” (Al Mukminun: 85)
melihat akan kebaikan Allah kepada manusia sebagaimana yang telah diungkapkan dalam konsep tauhid rububiyah maka sudah selayaknya manusia harus bersyukur kepada Allah karena semuanya itu hanyalah nikmat dari Allah. Allah telah menciptakan manusia dan sekaligus Allah memberi kenikmatan berupa rizki untuk manusia agar dapat hidup di dunia. Hanya oarang yang kufur saja yang tidak dapat melihat semua kebaikan Allah kepada manusia. (titik tekan muwashofat mensyukuri nikmat saat mendapatkan nikmat dari Allah swt)

Tauhid Mulkiyah
Kata Malik yang berarti raja, dan Mulk yang berarti memilki akar kata yang sama yaiyu ma-la-ka. Keduanya mempunyai relevansi makna yang kuat. Si Pemilik sesuatu –pada hakikatnya- adalah raja dari sesuatu yang dimilikinya. Misalnya pemilik rumah, dia bebas mendiami, menyewakan atau bahkan menjualnya kepada orang lain. Berbeda dengan penghuni yang hanya mempunyai hak pakai, tidak diijinkan menyewakannya kepada orang lain, apalagi menjualnya.
Dalam pengertian bahasa seperti ini, Allah SWT sebagai Rabb yang memiliki alam semesta (a’ ‘alamin) adalah raja dari alam semesta tersebut, Dia bebas melakukan apa saja yang dikehendakiNya terhadap alam semesta tersebut. Dalam hal ini Allah SWT adalah Malik (raja) dan alam semesta adalah mamluk (yang memiliki atau hamba). Kita banyak menemukan ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah SWT adalah Pemilik dan Raja langit dan bumi dan seluruh sisinya, antara lain:
“Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong.” (Al Baqarah: 107)

“Kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Al Maidah : 120)
Bila kita mengimani bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Raja yang menguasai alam semesta (bumi dan seluruh isinya) maka kita –minimal- harus mengakui Alllah SWT adalah pemimpin(Wali), Penguasa yang menentukan (Hakim) (titik tekan muwashofat bertahkim kepada hukum Allah)dan yang menjadi tujuan (Ghayah) (titik tekan muwashofat mengikhlaskan amal hanya untuk Allah swt). Hal itu logis sebagai konsekuensi dari pengakuan bahwa Allah SWT adalah raja. Bukanlah Raja kalau tidak memimpin, bukanlah pemimpin kalau tidak punya wewenang menentukan sesuatu, atau tidak punya “kata putus”. Kalau kita analogikan logika ini kepada manusia, maka raja yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa adalah raja simbol atau raja boneka yang hanya ditampilkan untuk upacara-upacara (ceremonial) belaka yang tidak menentukan sistem kehidupan atau pemerintahan. Seoarang raja baru akan fungsional sebagai raja bukan karena mahkota yang telah dipasang di kepalanya, bukan karena dia sudah duduk di atas kursi kerajaan (singgasana) atau karena tinggal di istana, bukan. Dia baru akan fungsional sebagai raja apabila berfungsi menjadi pemimpin dalam arti yang sebenarnya. Yaitu apabila kata-katanya didengar, perintahnya diikuti dan larangannya diperhatikan. Dan apabila terjadi perselisihan dia akan menyelesaikan.
Al Qur’an menjelaskan bahwa Allah SWT adalah pemimpin orang-orang yang beriman:
“Allah pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang kafir pemimpin –pemimpin mereka adalah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka. Dan mereka kekal di dalamnya..” (Al Baqarah: 257)

Az Zulumat (kegelapan) dalam ayat di atas adalah simbol dari segala bentuk kekufuran, kemusyrikan, kefasikan dan kemaksiatan, sedangkan An Nur adalah simbol ketauhidan, keimanan, ketaatan (islam). Atau dalam bahasa sekarang Az Zulumat adalah bermacam-macam ideologi dan isme-isme yang bertentangan dengan ajaran islam sepeti komunisme, sosialisme, kapitalisme, liberalisme, materialisme, hedonisme dan lain sebagainya.
At Taghut adalah segala sesuatu yang disembah (dipertuhan) selain dari Allah SWT dan dia suka diperlakukan sebagai tuhan tersebut. Menurut Sayid Quthb, Thagut adalah segala sesuatu yang menentang kebenaran dan melanggar batas yang telah digariskan oleh allah SWT untuk hambaNya. Thagut bisa berbentuk pandangan hidup, peradaban, dan lain-lain yang tidak berlandaskan ajaran Allah (Fi Zhilalil Qur’an I/292)

Secara operasional kepimpinan Allah SWT itu dilaksanakan oleh Rasulullah SAW, dan sepeninggal beliau kepemimpinan itu dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman. Hal ini dinyatakan dalam Al Qu’ran:
“Sesungguhnya pemimpin kamu adalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)” (AL Maidah: 55)

Ayat ini menjlaskan kriteria Ulil Amri yang umat Islam diperintahkan oleh Allah SWT untuk loyal kepada mereka:
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada rasulNya dan Ulil Amri di antara kamu…”(AN Nisa: 59)

Kriteria itu adalah mendirikan sholat (ibadah vertikal langsung kepada Allah), menunaikan zakat (ibadah yang hasilnya langsung bisa dirasakan oleh masyarakat-secara horisontal) dan pemimpin itu harus tunduk patuh kepada Allah dalam seluruh aspek kehidupannya (ra-ki’un)

Taat kepada Allah dan rasulNya bersifat mutlak (tanpa batas), sedangkan taat kepada Ulil Amri relatif (terbatas) yaitu selama masih di ruang lingkup taat kepada Allah dan rasulNYa. Taat perintah taat kepada Allah dan rasulNya disebutkan secara eksplisit sendiri-sendiri, sedangkan perintah taat kepada Ulil amri hanya di athafkan kepada perintah taat sebelumnya. Isyarat bahsa ini dipertegas oleh sabda Rasulullah SAW:
“Tidaklah kepatuhan kepada makhluk untuk mendurhakai Khaliq.”

Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas bahwa Allah SWT baru fungsional sebagai pemimpin bila Dia berfungsi sebagai Hakim (Yang menentukan hukum, Yang berkuasa, Yang memutuskan perkara), maka seorang yang beriman kepada Allah sebagai Wali haruslah mengimani Allah SWT sebagai Hakim yang menentukan hukum dan segala aturan lainnya.(titik tekan muwashofat bertahkim kepada hukum Allah)
Allah SWT menegaskan berkali-kali dalam kitab suci Al Qur’an bahwa hal utuk menentukan hukum, ini hanya ada di tangan Allah SWT.
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (Al An ‘am: 57)
“Dan ketahuilah bahwa segala hukum (pada hati itu) kepunyaanNya. Dan Dia lah pembuat perhitungan yang paling cepat.” (Al An An’am: 62)

Allah SWT memberikan predikat fasiqun, zhalimun dan kafirun kepada orang-orang yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah.
“Barang siapa yang tidak mau berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah maka merekalah orang-orang kafir.” (AL Maidah: 44)
“Barang siapa yang tidak mau berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah maka merekalah orang-orang zhalim.” (AL Maidah: 45)
“Barang siapa yang tidak mau berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah maka merekalah orang-orang fasiq.” (AL Maidah: 47)
Orang yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah karena benci, ingkar dan tidak meyakini hukum itu maka dia menjadi kafir. Bisa masih meyakini tapi masih melanggar atau tidak mau melaksanakannya, karena menuruti hawa nafsu maka orang tersebut disebut fasiq, dan bila hanya merugikan diri sendiri, dan disebut zhalim jika merugikan orang lain.
Bila Allah SWT adalah wali dan hakim, maka kita akan melakukan apa saja yang diridhaiNya. Atau dengan kata lain apa saja yang kita lakukan adalah dalam rangka mencari ridha Allah. Allah lah yang menjadi ghayah (tujuan) kita. Kita akan mengucapakan sebuah pernyataan:
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (AL An An’am:162)
Ringkasnya tauhid Mulkiyah adalah mengimani Allah SWT sebagai satu-satunya Malik yang mencakup pengertian sebagai wali, hakim dan ghayah.(titik tekan muwashofat bertahkim pada hukum Allah)

Leave a Reply