mencoba berbagi untuk semua

- -

Tauhidullah part2

Tauhid Ilahiyah
Kata Ilaha berakar kata pada a-la-ha (alif-lam-ha) yang mempunyai arti antara lain tentram, tenang, lindungan, cinta dan sembah (‘abada). Semua kata-kata ini relevan dengan sifat-sifat dan kekhususan zat Allah SWT sepeti yang dinyatakan Alllah dalam kitab suci alQur’an:
“Dan orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya mengingat Allah lah hati menjadi tentram.” (Ar Ra’du: 28)
“Aku berlindung kepada Allah akan termasuk orang-orang yang jahil.” (Al Baqarah: 67)
“Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (Al Baqarah: 165)
“Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan). Sembahlah Allah saja, dan jauhilah thagut.” (An Nahl: 36)

Di antara makna Ilah di atas yang paling asasi adalah makna ‘abada (‘ain-ba-dal) yang mempunyai beberapa arti, antara lain: hamba sahaya (‘abdun), patuh dan tunduk (‘ibadah), yang mulia dan agung (al ma’bad), selalu mengikutinya (‘abada bih). Jika arti kata-kata ini diurutkan maka akan menjadi susunan kata yang sangat logis yaitu: Bila seseorang menghambakan diri pada seseorang maka ia akan mengikutinya, mengagungkannya, memuliakannnya, mematuhi dan tunduk kepadanya serta mengorbankan kemerdekaannya. Dalam konteks ini “al ma’bud” berarti memiliki, yang dipatuhi dan yang diagungkan (AL Islam, 1979, 23-24)

Jadi Tauhid Ilahiyah adalah mengimani Allah SWT satu-satunya Al ma’bud (yang disembah). Dalam hal ini Allah berfirman:
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku (beribadahlah) dan dirikanlah shalat untuk mengingatKu.” (Thaha: 14) (titik tekan muwashofat mengikhlaskan amal hanya untuk Allah swt)

Tauhid Asma Wash-Shifat
Makna tauhidul asma wa-shifat (mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifat-Nya) adalah meyakini secara mantap bahwa Allah swt menyandang seluruh sifat kesempurnaan dan suci dari segala sifat kekurangan dan bahwa Dia berbeda dengan seluruh makhluk-Nya. Caranya adalah menetapkan (mengakui) nama-nama dan sifat-sifat Allah yang yang Dia sandangkan untuk Dirinya atau disandangkan oleh Rasulullah saw dengan tidak melakukan tahrif (pengubahan) lafadz atau maknanya, tidak ta’thil (pengabaian) yakni menyangkal seluruh atau sebagian nama dari sifat itu, tidak takyif (pengadaptasian) dengan menentukan esensi dan kondisinya dan tidak tasybih (penyerupaan) dengan sifat-sifat makhluk.
Dari definisi di atas, jelaslah bahwa tauhidul asma was-shifat berdiri di atas tiga asas. Barang siapa menyimpang darinya, maka ia tidak termasuk orang yang mengesakan Allah dalam hal nama dan sifat-Nya. Ketiga asas itu adalah:
1.menyakini bahwa Allah Mahasuci dari kemiripan dengan makhluk dan dari segal kekurangan.
2.mengimani seluruh nama dan sifat Allah yang disebutkan dalam Al-Quran dan Sunnah tanpa mengurangi atau menambah-nambahi dan tanpa mengubah atau mengabaikannya.
3.menutup keinginan untuk mengetahui kaifiyyah(kondisi) sifat-sifat itu.


Adapun asas yang pertama, yakni meyakini bahwa Allah Mahasuci dari kemiripan dengan makhluk dalam segala sifat-sifat-Nya. Ini didasarkan pada firman Allah swt:

“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al Ikhlas(112) :4)

“Maka janganlah kalian membuat perumpamaan-perumpamaan bagi Allah.” (QS.16:74)

Al-Qurtubi, saat menafsirkan firman Allah ”Tidak ada yang sama dengannya sesuatu apapun,” mengatakan,”Yang harus diyakini dalam bab ini adalah bahwa Allah swt, dalam hal keagungan, kebesaran, kekuasaan, dan keindahan nama serta ketinggian sifat-Nya, tidak satupun dari makhluknya yang menyerupai-Nya dan tidak pula dapat diserupakan dengan makhluk-Nya. Dan sifat yang oleh syariat disandangkan kepada Pencipta dan kepada makhluk, pada hakikatnya esensinya berbeda meskipun lafaznya sama. Sebab, sifat Allah Yang tidak berpemulaan (qadim) pasti berbeda dengan sifat makhluk-Nya.
Al Wasithi mengatakan,”Tidak ada dzat yang sama dengan dzat-Nya;tidak ada nama yang sama dengan nama-Nya;tidak ada perbuatan yang sama dengan perbuatan-Nya, tidak ada sifat yang sama dengan sifat-Nya kecuali dari sisi lafaznya saja. Mahasuci Dzat Yang Qadim dari sifat-sifat makhluk. Sebagaimana adalah mustahil makhluk memiliki sifat-sifat Pencipta. Dan, inilah mazhab para pemegang kebenaran, yakni Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah.
Sayyid Qutb mengatakan, saat menafsirkan ayat tersebut di atas,”Fitrah pasti akan mengimani hal ini. Bahwa Pencipta segala sesuatu tidak akan dapat disamakan dalam hal sekecil apa pun oleh makhluk-Nya.
Dan masuk dalam asas pertama ini, menyucikan Allah swt dari segala yang bertentangan dengan siat yang Dia sandangkan untuk Dirinya atau dengan sifat yang disandangkan oleh Rasulullah saw. Jadi mengesakan Allah dalam hal sifat-sifat-Nya menuntut seseorang Muslim untuk meyakini bahwa Allah tidak mempunyai istri, teman, tandingan, pembantu, dan syafi’(pemberi safa’at)—kecuali atas izin-Nya. Dan juga menuntut seorang Muslim untuk menyucikan Allah dari sifat tidur, lelah, lemah, mati, bodoh, zalim, lalai, lupa, kantuk, dan sifat-sifat kekurangan lainnya.

Adapun asas kedua, mewajibkan kita untuk membatasi diri pada nama-nama dan sifat-sifat yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah. Nama-nama dan sifat-sifat itu harus ditetapkan berdasarkan wahyu bukan logika. Jadi, tidak boleh menyandangkan sifat atau nama kepada Allah kecuali sejauh yang ditetapkan oleh Allah untuk Dirinya atau ditetapkan oleh Rasulullah saw. Sebab Allah swt Mahatahu tentang Dirinya, sifat-sifat-Nya dan nama-nama-Nya. Ia berfirman:
“Katakanlah, kalian yang lebih tahu atau Allah?”(QS. Al Baqarah (2):140)

Nah bila Allah yang lebih tahu tentang Dirinya, dan para Rasul-Nya adalah orang-orang jujur dan selalu membenarkan segala informasi dari-Nya, pasti mereka tidak akan menyampaikan selain dari apa yang diwahyukan oleh-Nya kepada mereka. Karenanya, dalam urusan mengukuhkan atau menafikan nama-nama dan sifat-sifat Allah wajib merujuk kepada informasi dari Allah dan Rasul-Nya. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan,”Tidak boleh menyandangkan sifat kepada Allah selain dari apa yang disandangkan oleh Dirinya sendiri atau oleh Rasul-Nya; tidak boleh melangkahi Al-quran dan Hadist.”
Nu’aim bin Hammad, guru Imam Al-Bukhari, mengatakan,”Barang siapa menyamakan Allah dengan makhluk, maka ia kafir. Barang siapa menolak sifat Allah yang disandangkan-Nya untuk Dirinya atau disandangkan oleh Rasul-Nya maka ia kafir. Dan dalam sifat-sifat Allah yang disandangkan oleh-Nya atau oleh Rasul SAW tidak ada kesamaan atau kemiripan dengan sifat-sifat makhluk-Nya.”

Adapun asas yang ketiga menuntut manusia yang mukallaf untuk mengimani sifat-sifat dan nama-nama yang ditegaskan oleh Al-Quran dan Sunnah tanpa bertanya tentang kaifiyyah (kondisi)-Nya, dan tidak pula tentang esensinya. Sebab, mengetahui kaifiyyah sifat hanya akan dicapai manakala mengetahui kaifiyyah dzat. Karena sifat-sifat itu berbeda-beda, tergantung pada penyandang sifat-sifat tersebut. Dan Dzat Allah tidak berhak dipertanyakan esensi dan kaifiyyah-Nya. Maka, demikian pula sifat-sifat-Nya, tidak boleh dipertanyakan kaifiyyah-Nya.
Karenanya, ketika para ulama salaf ditanya tentang kaifiyyah istiwa (cara Allah bersemayam) mereka menjawab,”Istiwa itu sudah dipahami, sedang cara-caranya tidak diketahui; mengimaninya(istiwa) adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Jadi, kaum salaf sepakat bahwa kaifiyyah istiwa itu tidak diketahui oleh manusia dan bertanya tentang hal itu adalah bid’ah.
Jika ada seseorang bertanya kepada kita,”Bagaimana cara Allah turun ke langit dunia?”maka kita tanyakan kepadanya, “Bagaimana Dia?” jika ia mengatakan,”Saya tidak tahu kaifiyyah Dia.”maka kita jawab, “Makanya kita tidak tahu kaifiyyah Dia. Sebab untuk mengetahui kaifiyyah sifat harus mengetahui terlebih dahulu kaifiyyah dzat yang disifati itu. Karena, sifat itu adalah cabang dan mengikuti yang disifati. Jadi, bagaimana Anda menuntut kami untuk menjelaskan cara Allah mendengar, melihat, berbicara, istiwa, padahal Anda tidak tahu bagaimana kaifiyyah dzat-Nya. Maka, jika anda mengakui bahwa Allah adalah wujud yang hakiki yang pasti memiliki segala sifat kesempurnaan dan tidak ada yang menandinginya, maka mendengar, melihat, berbicara, dan turunnya Allah tidak dapat digambarkan dan tidak bisa disamakan dengan makhluk-Nya.

Dari penjelasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa tauhid al asma wash-shifat ini dapat rusak dengan beberapa hal berikut:
1. Tasybih
Yakni menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk. Seperti yang dilakukan orang-orang Nasrani yang menyerupakan Al Masih bin Maryam dengan Allah SWT;orang Yahudi menyerupakan ‘Uzair dengan Allah;orang-orang musyrik menyerupakan patung-patung mereka dengan Allah;beberapa kelompok yang menyerupakan wajah Allah dengan wajah makhluk, tangan Allah dengan tangan makhluk, pendengaran Allah dengan pendengaran makhluk, dan lain sebagainya.
2. Tahrif
Artinya mengubah atau mengganti. Yakni mengubah lafadz-lafadz nama Allah dengan menambah atau mengurangi atau mengubah harakah i’rabiyyah, atau mengubah artinya, yang oleh para ahli bid’ah diklaim sebagai takwil, yaitu memahami satu lafadz dengan makna yang rusak dan tidak sejalan dengan makna yang digunakan dalam bahasa arab. Seperti pengubahan kata dalam firman Allah wa kallamallahu musa taklima menjadi wa kallamallaha. Dengan demikian, mereka bermaksud menafikan sifat kalam (berbicara) dari Allah swt.
3. Ta’thil (pengabaian, membuat tidak berfungsi)
Yakni menampik sifat Allah dan menyangkal keberadaannya pada Dzat Allah swt, semisal menampik kesempurnaan-Nya dengan cara membantah nama-nama dan sifat-sifat-Nya; tidak melakukan ibadah kepada-Nya, atau menampik sesuatu sebagai ciptaan Allah swt, seperti orang yang mengatakan bahwa makhluk-makhluk ini qadim (tidak berpermulaan dan menyangkal bahwa Allah telah mencipatkan dan membuatnya).
4. Takyif (mengkondisikan) yakni menentukan kondisi dan menetapkan esensinya
Manhaj dalam memahami nama dan sifat Allah yang disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah tanpa melakukan tasybih, tahrif, ta’thil dan takyif ini merupakan mazhab salaf, yakni kalangan sahabat—semoga Allah meridhai mereka semua, tabi’in, dan tabi’ut –tabi’in. Asy-Syaikani mengatakan:
“Sesungguhnya, mazhab salaf, yakni kelangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in adalah memberlakukan dalil-dalil tentang sifat-sifat Allah sesuai dengan zahirnya tanpa melakukan tahrif, takwil, yang dipaksakan, dan tidak pula ta’thil yang mengakibatkan terjadinya banyak takwil. Dan jika mereka ditanya tentang sifat-sifat Allah meraka membacakan dalil lalu menahan diri dari mengatakan pendapat itu dan ini, seraya mengatakan, Allah mengatakan demikian dan kami tidak mengetahui lebih dari itu. Kami tidak akan memaksakan diri untuk berbicara apa yang tidak kami ketahui dan apa yang tidak Allah izinkan untuk kami lampaui. Jika sipenanya itu menginginkan penjelasan melebihi dari yang zahir, maka mereka segera melarangnya agar tidak menenggelamkan dalam hal yang tidak berguna dan mencegah dari mencari apa yang tidak mungkin mereka capai selain terjerumus dalam bid’ah dan dalam hal yang tidak diajarkan Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat dan tabi’in. Dan pada masa itu, pendapat tentang asma was-shifat adalah satu. Dan cara memahaminya juga sama.
Kesibukan mereka saat itu adalah melaksanakan apa yang Allah perintahkan dan tugaskan kepada mereka untuk dilaksanakan. Yakni beriman kepada Allah, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat dan puasa, haji, jihad, infaq, mencari ilmu yang bermanfaat, membimbing manusia kepada kebaikan, memerintah yang makruf dan mencegah yang munkar, dan sebagainya. Dan, mereka tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak dibebankan kepada mereka atau dengan hal-hal yang kalaupun dilaksanakan tidaklah merupakan ibadah, seperti mencari hakikat nama-nama dan sifat-sifat itu. Karenanya, pada masa itu agama Islam bersih dari debu-debu bid’ah.

Tauhidullah
oleh :
Ustadz Prof. Dr. Muhammad Nuim Yassin dan
Ustadz Dr. Yunahar Ilyas

Leave a Reply